Bahas Bapak

Keduanya bicara tentang ayah dan anak.

Yang pertama disajikan lewat medium film. Judulnya Sabtu Bersama Bapak karya sutradara Monty Tiwa. Sebenarnya tayangan ini lebih dulu hadir lewat buku, tapi saya belum baca. Jadi, interaksi saya dengan karya ini, ya, melalui film. Kami—saya dan dua orang saudara—menontonnya saat orang-orang sibuk bertakbir menjelang Idul Fitri. Luar biasa banget, CGV Blitz masih buka sampai malam, meski besoknya hari raya agama mayoritas di Indonesia. Keprok.

sabtu-1
Sabtu Bersama Bapak (2016)

Film tersebut berkisah tentang dua orang anak yang ditinggal ayahnya sejak kecil. Sebelum meninggal, sang ayah (Abimana Aryasatya) membuat video tentang petuah hidup untuk ditonton sang anak setiap Sabtu. Saat dewasa, Si anak pertama, Satya (Arifin Putra), tumbuh menjadi laki-laki yang penuh perhitungan, hidup sesuai rencana, dan superganteng. Diceritakan juga kalau ia bekerja jauh demi rumah demi lancarnya arus kas keluarga sesuai plan yang telah dibuat. Si bungsu, Cakra (Deva Mahenra), adalah persona yang penuh kehati-hatian, sederhana, dan sulit berinteraksi dengan perempuan yang disukai. Kariernya moncer, tetapi belum juga punya pasangan. Terus kenapa?

31142634-_uy971_ss971_
           Genduk (2016)

Kisah ayah yang kedua disampaikan lewat buku Genduk yang ditulis Sundari Mardjuki. Si Genduk atau Annisa Nooraini bisa dibilang belum pernah jumpa ayahnya. Sang ayah memang ada ketika dia lahir, tetapi tidak lama. Jadilah hingga duduk di bangku sekolah dasar, Genduk cuma bisa membayangkan sosok ayahnya dari cerita seorang kyai sepuh yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Bocah itu juga tidak pernah alpa menanyakan atau menyinggung tentang Pak’e kepada ibunya, seorang petani tembakau kecil yang diasingkan dari rumah dan dililit utang rentenir. Pertanyaan itu selalu hanya dijawab dengan diam atau bentakan.

Keduanya bicara tentang ayah dan anak. Tentang ayah yang absen dari kehidupan anak-anaknya sejak mereka kecil.

Saya bisa terhubung dengan perasaan Satya, Cakra, dan Genduk. Meskipun dibesarkan oleh superwoman yang penuh kasih dan perjuangan, kehilangan satu induk bukanlah hal yang menyenangkan. Apalagi jika itu terjadi sejak si anak masih kecil dan si ibu memutuskan untuk melanjutkan kehidupannya sendiri saja. Semuanya memang bisa dan akan berjalan baik-baik saja, sesempurna mereka yang dibesarkan dengan orangtua lengkap. Tapi pada suatu titik, ketidaklengkapan atau ketidaksempurnaan itu akan terasa jelas. Bukan samar atau diada-adakan.

Wajar rasanya kalau Satya frustrasi dan marah-marah karena menganggap apa yang diajarkan sang ayah lewat video itu salah. Dan Cakra maju mundur mendekati perempuan yang bikin ia jatuh cinta. Atau Genduk nanya-nanya melulu kayak pembantu baru tentang ayahnya, padahal ia tahu ibunya sebal benar tentang bahasan tersebut. Bahkan ia nekat turun gunung untuk mencari kejelasan dan membuktikan instingnya, tanpa didahului riset dan pernah ke kota yang dituju.

Saya ingat benar, saya adalah anak ayah. Selain karena banyak yang bilang saya mirip dengan beliau (BLAH!), keadaannya bikin dia lebih banyak di rumah dan, mau tidak mau, mengurusi saya. Mulai dari membuat sarapan, mengepang rambut, mengantar dan menjemput sekolah atau les, serta menunggui bikin PR. Sarana belajar saya waktu kecil adalah ayah, bukan ibu. Justru Ibu hadir belakangan (dan sampai sekarang, sampai masa depan) setelah Bapak meninggal. Saking dekatnya saya dan Bapak, Ibu pernah marah karena kami pulang terlalu larut setelah saya latihan balet dan makan enak di restoran enak. Dia terabaikan. Dan beberapa tahun setelah kepergian Bapak, Ibu jujur bilang kalau saya jadi anak nakal begitu beliau meninggal. Hahaha.

Ada masanya saya terlupa atau melupakan keberadaan beliau. Tentu saja, sebab beliau hanya mampir sebentar. Selebihnya, lebih dari 20 tahun, dia absen.

Butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa kehilangan beliau adalah salah satu persoalan penting dalam hidup. Lebih dari perkara biologis dan administratif. Karena semuanya memang bisa dan akan berjalan baik-baik saja, sesempurna mereka yang dibesarkan dengan orangtua lengkap. Tapi pada suatu titik, ketidaklengkapan atau ketidaksempurnaan itu akan terasa jelas. Bukan samar atau diada-adakan. Apalagi jika itu terjadi sejak si anak masih kecil dan si ibu memutuskan untuk melanjutkan kehidupannya sendiri saja.

Ini tentu bukan sexist, tetapi nyatanya peran ayah dan ibu yang lengkap dalam keluarga punya peran masing-masing yang tidak tergantikan oleh satu sama lain. Hal itu tentu bersangkut-paut dengan persepsi ideal tentang ayah dan laki-laki serta ibu dan perempuan yang sudah mengakar di masyarakat dan tidak (belum) bisa diabaikan. Common sense.

Seperti juga hubungan anak dengan ibu, hubungan ayah dengan anak adalah hal yang distingtif. Terlebih buat mereka yang pernah cukup dekat atau punya jarak dengan mendiang. Terlebih buat yang mereka yang tunggal. Terlebih buat mereka yang memilih diam. Terlebih buat mereka yang kerap (tidak sengaja) terjebak dalam deep thoughts-nya. Terlebih buat mereka merasa.

Tapi tentu saja, situasi yang berbeda pada setiap orang dan keluarga bakal menjadikan hal yang berbeda juga, toh?

Dan dua tahun lalu, saya mengunjunginya untuk pertama kali dalam 19 tahun.

Jakarta, 23 September 2016